BAB 1
A. Latar
Belakang
Tanaman
cabai (Capsicum annum
Var.) merupakan salah
satu komoditas hortikultura
yang memiliki nilai ekonomi
penting di Indonesia.
Cabai merupakan tanaman perdu
dari famili terong‐terongan yang memiliki nama
ilmiah Capsicum sp.
Cabai berasal dari benua
Amerika tepatnya daerah
Peru dan menyebar ke negara‐negara benua Amerika, Eropa dan Asia termasuk Negara Indonesia.
Tanaman cabai mempunyai banyak ragam
tipe pertumbuhan dan
bentuk buahnya. Diperkirakan
terdapat 20 spesies yang sebagian
besar hidup di Negara asalnya. Masyarakat
pada umumnya hanya
mengenal beberapa jenis
saja, yakni cabai besar,
cabai keriting, cabai rawit
dan paprika. Secara
umum cabai memiliki banyak
kandungan gizi dan
vitamin. Diantaranya Kalori, Protein, Lemak, Kabohidarat, Kalsium,
Vitamin A, B1 dan Vitamin C. Selain
digunakan untuk keperluan
rumah tangga, cabai juga
dapat digunakan untuk
keperluan industri
diantaranya, Industri bumbu
masakan, industri makanan
dan industri obat‐obatan atau jamu. Buah
cabai ini selain dijadikan
sayuran atau bumbu
masak juga mempunyai
kapasitas menaikkan
pendapatan petani. Disamping
itu tanaman ini juga berfungsi
sebagai bahan baku industri, yang memiliki peluang eksport,
membuka kesempatan kerja.
Upaya
peningkatan produktifitas tanaman cabai telah banyak dilakukan mulai dari
modifikasi dalam teknik budidaya, pengelolaan hama dan penyakit, hingga
teknologi genetika. Hama dan penyakit tanaman masih menjadi faktor pembatas
yang sangat berpengaruh dalam proses budidaya tanaman cabai. Penyakit
yang menyerang tanaman dapat disebabkan oleh beberapa patogen diantaranya yaitu
virus, bakteri, cendawan, dan nematoda.Salah satu tanaman yang terserang adalah
tanaman cabai.
Penyakit yang
disebabkan oleh virus, diantaranya cucumber mosaic virus (CMV), tobacco etch
virus (TEV), tobacco mosaic virus (TMV), potato virus Y (PVY), dan chilli
veinal mosaic virus (CVMV). Penyakit
yang disebabkan oleh virus cukup sulit dikendalikan. Upaya pengendalian
penyakit oleh virus menggunakan insektisida untuk rnenekan populasi serangga
vektor ternyata kurang efektif dan berdampak negatif terhadap lingkungan dan
konsumen rnelalui pencemaran dan residu pada hasil panen.
Penyakit cucumber
mosaic virus (CMV) merupakan penyakit yang sering menyerang dan penting pada
tanaman cabai. Pengendaliannya cukup sulit karena keragaman genetika CMV yang
tinggi sehingga sulit menemukan jenis cabai yang tahan, kisaran tanaman inang
CMV yang luas, dan CMV dapat ditularkan oleh berbagai jenis kutu daun secara
nirpersisten. Sifat CMV yang demikian rnerupakan kendala bagi penerapan
pengendalian baik secara kultur teknik maupun kimiawi (Akin 2005).
Penggunaan bioteknologi
bukan untuk menggantikan metode konvensional tetapi bersama-sama menghasilkan
keuntungan secara ekonomi. Penggunaan metode konvensional dengan teknologi
tinggi memaksimumkan keberhasilan program perbaikan pertanian. Bioteknologi harus
diintegrasikan ke dalam pendekatan-pendekatan konvensional yang sudah mapan. Bioteknologi
berkembang dengan cepat di berbagai sektor dan meningkatkan keefektifan
cara-cara menghasilkan produk dan jasa (Sunarlim & Sutrisno 2003).
Bentuk rekayasa
genetika dimanfaatkan dalam pembuatan tanaman transgenik yang tahan terhadap
hama ataupun penyakit tanaman. Tanaman transgenik adalah tanaman yang ditransfer
atau disisipkan sebuah gen dari spesies lain secara sengaja, sehingga
memperoleh tanaman yang diinginkan, khususnya tanaman yang tahan terhadap hama
atau penyakit. Upaya perakitan tanaman cabai transgenic merupakan salah satu
alternatif solusi pengendalian yang ramah lingkungan serta lebih efektif dalam
menangani penyakit CMV.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1. Apa itu virus mosaic ketimun?
2. Bagaimana rekayasa genetika tanaman cabai?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Virus Mosaik Ketimun (CMV)
Virus mosaik ketimun adalah
virus tanaman yang berbentuk polyhedral
dengan diameter 28 nm, menginteksi lebih dari 775 spesies tumbuhan dalam 67 famili
dan dapat ditularkanoleh75 spesies afid secara non-persistent (MurantdanMayo,
1982).
Virus mosaic ketimun
mempunyai kisaran inang yang sangat luas, terdapat pada tanaman sayuran,
tanaman hias dan tanaman buah-buahan. Selain menyerang tanaman ketimun, virus
mosaic ketimun juga dapat menyerang melon, labu, cabai, bayam, tomat, seledri,
bit, tanaman polong-polongan, pisang, tanaman famili Crucitereae, delphinium,
gladiol, lili, petunia, zinia dan beberapa jenis gulma (Agrios,1988).
Di beberapa negara,
virus mosaik ketimun telah menyebabkan penyakit yang berat pada tanaman
tertentu. Virus mosaic ketimun terdapat hampir di semua negara dan strain yang
berbeda sifat biologinya telah dilaporkan dari berbagai tempat. Virus mosaik
ketimun mempunyai banyak strain, oleh karena itu mempunyai jumlah inang yang
banyak serta gejala yang ditimbulkan beragam.
Virus mosaik ketimun
mempunyai tiga genom RNA untai tunggal yang disebut RNA-1, RNA-2 dan RNA-3,
serta RNA-4 yang merupakan sub genom dari RNA-3. bobot molekulnya (X 106)
masing-masing adalah 2.7,1.13,0.82 dan 0.36 (Takanami, Kubo dan Imaizumi,
1977). RNA-1 dan RNA-2 adalah bagian yang terpisah, tetapi RNA-3 dan RNA-4
terbungkus bersama (Lot dan Kaper, 1976). Selain komponen RNA tersebut, juga
dilaporkan komponen lain denganbobotmolekul (X106) adalah 0.26 (RNA-4a) , 0.11
(RNA-5), 0.01-0.05 (RNA-6) dan 0.5 (RNA-X) (Peden dan Symons, 1973). Hanya
RNA-5 yang telah banyak dipelajari lebih lanjut (Murant dan Mayo, 1982).
RNA-5 adalah salah
satu satelit RNA dari virus mosaic ketimun, karena multiplikasinya bergantung
pada virus mosaic ketimun serta tidak esensial untuk replikasi virus mosaik
ketimun (Murant dan Mayo, 1982). Untuk membedakan dengan RNA lain, maka satelit
RNA-5 yang terdapat pada virus mosaic ketimun disebut CARNA (=RNA-5 yang
berasosiasi dengan CMV) (Kaper dan Tousignant, 1977).
Jumlah satelit RNA-5
yang terdapat pada virus mosaik ketimun
sangat beragam, bergantung pada strain virus mosaik ketimun sebagai virus
penolong dan spesies tanaman inang. Pada kebanyakan isolat virus mosaik ketimun jumlah satelitnya sedikit dan sering
tidak terdeteksi bila diperbanyak pada Cucurbita papo, tetapi meningkat
jumlahnya setelah ditularkan ulang pada Nicotiana tabacum (Kaper dan
Tousignant, 1977). Dengan meningkatnya jumlah satelit, jumlah virus penolong
dan infektifitasnya menurun. Hal ini disebabkan adanya persaingan RNA satelit dengan
RNA virus mosaik ketimun dalam replikasinya (Murant dan Mayo, 1982).
Pada tahun 1977
isolat CMV (S) yang mengandung RNA satelit ditemukan merangsang penyakit
nekrotik fetal pada tomat (Lycopersicon
esculentum) menggantikan gejala klorosis dan daun pakis (fern-leaf) yang secara
normal merupakan gejala yang disebabkan oleh CMV (S) sendiri (Murant dan Mayo,
1982).
Pada dua strain virus
mosaic ketimun lain, penambahan RNA satelit ke inokulum virus mosaic ketimun
menyebabkan gejala nekrotik berat yang sama pada tomat, tetapi menyebabkan
pelemahan gejala pada cabai (Capsicum frutescens), jagung manis (Zea mays),
tembakau dan beberapa inang lain. Strain CMV (JY) yang mengandung satelit RNA
menyebabkan nekrotik letal I pada tomat, tetapi juga menyebabkan mosaic kuning
yang jelas pada tembakau dan beberapa spesies Nicotiana yang lain. Sedangkan
gejalanya tanpa satelit adalah
mosaik kuning (Takanami,1981) (Siregar,
2003).
B.
Rekayasa Genetika Tanaman Cabai
Untuk rekayasa genetika tanaman cabai, dapat dilakukan
dengan cara berikut:
1.
Konstruksi
Gen CP CMV pada Agrobacterium
Teknik rekayasa
genetika merupakan salah satu teknik yang menjanjikan untuk mendapatkan tanaman
yang resisten terhadap penyakit virus.Tanaman cabai transgenik yang tahan
terhadap CMV merupakan tanaman cabai yang mengandung gen ketahanan virus (coat
protein PVY/CP PVY) (Siregar, Khardinata 2005).Untuk memperoleh gen ketahanan terhadap
CMV (gen CP CMV) yang siap diintroduksikan ke dalam genom tanaman cabai,
diperlukan pekerjaan yang meliputi isolasi, kloning, dan konstruksi gen
ketahanan.
Alat dan bahan yang
digunakan dalam mengonstruksi gen ketahanan ini antara lain primer spesifik
berdasarkan urutan nukleotida spesifik CP CMV, vector plasmid, vector
transformasi, enzim restriksi, enzim ligase, E. coli DH5, primer M13, pCAMBIA
1301, pCAMBIA 1304, Agrobacterium EHA101, Agrobacterium EHA105, antibiotik
tetracycline, rifampicin, kanamycin, dan alat-alat untuk pekerjaan molekuler.
Metode-metode yang
dilakukan dalam merakit gen ketahanan CP CMV meliputi disain primer
oligonukleotida gen CP CMV, ekstraksi RNA total dari sampel tanaman, proses
RT-PCR (Reverse Transcription Polymerase
Chain Reaction) CP CMV, kloning dan konstruksi gen CP CMV pada plasmid
vektor, transformasi plasmid rekombinan, seleksi klon positif, dan kontruksi
vektor transformasi.Dalam perakitan gen ketahanan CMV, disain primer
oligonukleotida gen CP CMV digunakan untuk menentukan sekuen yang spesifik
untuk CP CMV. Kemudian proses RT-PCR dilakukan untuk pembentukan cDNA CP
CMV. Selanjutnya, dilakukan kloning
untuk memperoleh klon bakteri yang mengandung plasmid rekombinan antara cDNA CP
CMV dengan plasmid vektor. Kloning cDNA
CP CMV dilakukan dengan meligasikannya ke dalam plasmid vektor pGEM-T Easy
(Promega) sehingga akan diperoleh plasmid rekombinan yang terdiri dari DNA
plasmid dan cDNA CP CMV. Plasmid rekombinan kemudian ditransformasikan ke dalam
Escherichia coli DH5 yang kompeten dan bakteri tersebut dikulturkan pada media
seleksi LB yang mengandung ampisilin dan X-gal.Klon bakteri yang tumbuh (klon
positif) merupakan klon hasil seleksi yang mengandung DNA CP CMV. Klon positif
ini selanjutnya diambil untuk diamplifikasi dan dideteksi dengan elektroforesis
gel agarosa untuk melihat adanya insersi dan ukuran DNA. Pemotongan dilakukan
menggunakan enzim Ncol.Untuk konstruksi vektor transformasi, DNA CP CMV dari
bakteri klon diinsersikan ke dalam plasmid pCAMBIA 1301 yang mengandung
promoter kuat 35S untuk tanaman. Plasmid pCAMBIA 1301 yang mengandung gen CP
CMV ini kemudian dipindahkan ke dalam Agrobacterium tumefaciens strain EHA101
dan EHA105 dengan sistem tri parental mating menggunakan bakteri penolong HB101
(pRK2013). Selanjutnya, bakteri A. tumefaciens diseleksi dengan menggunakan
antibiotik penyeleksi.
2.
Introduksi
Gen CP CMV
Introduksi gen CP CMV
ke dalam genom tanaman cabai dilakukan pada eksplan daun tanaman cabai berumur
21 hari yang dikokultivasi dengan kultur bakteri Agrobacterium dengan cara
merendam eksplan di dalam suspensi bakteri selama 5 menit. Eksplan yang telah diberi perlakuan
perendaman suspensi bakteri akan dikulturkan pada media regenerasi, yaitu media
dasar MS (Murashige & Skoog) yang ditambahkan zat pengatur tumbuh BAP dan
IAA, antibiotik penyeleksi (Kanamycin) dan antibiotik cefotaxime untuk membunuh
Agrobacterium. Eksplan disubkultur ke
dalam media seleksi dan semua kultur diinkubasikan dalam ruangan kultur dengan
intensitas penyinaran 1000-1500 lux selama 24 jam dengan suhu ruang diatur
sehingga berkisar antara 26-28 ÂșC. Hasil
kultur eksplan yang berhasil tumbuh pada media seleksi akan dilanjutkan ke
tahapan analisis molekuler tanaman transgenik.
Tanaman yang berhasil tumbuh pada media seleksi merupakan tanaman yang
berhasil direkayasa atau sudah menjadi calon tanaman transgenik.
Analisis
molekuler tanaman transgenik dilakukan untuk membuktikan adanya integrasi gen
CP CMV yang diintroduksikan ke dalam tanaman cabai. Deteksi integrasi gen nptll dan gen CP CMV
dilakukan dengan teknik PCR. Gen nptll
ini adalah gen tahan antibiotik sehingga eksplan dapat tumbuh dalam media
seleksi.
3.
Uji
Tanaman Transgenik
Tahap terakhir dari
perakitan tanaman transgenik ini yaitu dengan uji ketahanan dan pola pewarisan
sifat dari tanaman transgenik. Uji
ketahanan ini bertujuan untuk mengetahui ketahanan tanaman transgenik yang
diperoleh terhadap strain virus CMV.
Tanaman transgenik yang berhasil menjadi tanaman sempurna di media
seleksi (R0) akan diaklimatisasi pada pot di rumah kasa tertutup. Kemudian benih yang diperoleh dari tanaman R0
merupakan benih R1 atau generasi F1.Tanaman R1 digunakan sebagai tanaman
pengujian.Tanaman R1 diinokulasikan CMV secara mekanik, kemudian tiga minggu
setelah inokulasi daun pucuk tanaman cabai dianalisis dengan teknik ELISA
(Enzym Link Immunosorbant Assay).
Tanaman yang telah teruji ketahananya selanjutnya harus diketahui pola
pewarisan dari gen CP CMV pada tanaman transgenik cabai. Pola pewarisan sifat pada tanaman cabai
transgenik yang diperoleh dilakukan pengujian sampai keturunan R2 (generasi F2). Kegiatan pemuliaan hingga R2 akan dapat
mengetahui kestabilan integrasi gen CP CMV yang diinsersikan pada genom cabai.
Teknik
rekayasa genetik merupakan salah satu cara yang menjanjikan untuk mendapatkan
tanaman yang resisten terhadap penyakit virus. Gen ketahanan tersebut berasal
dari virus sendiri, yaitu gen CP CMV dan gen tersebut dimasukkan ke dalam genom
tanaman cabai (Siregar 2005). Tiga komponen kunci rekayasa genetik untuk
mendapatkan tanaman cabai transgenik tahan virus adalah tersedianya gen
antivirus (gen CP CMV), tersedianya cara introduksi gen CP ke dalam genom
tanaman cabai dan regenerasi cabai transgenik, serta ekspresi gen CP pada
tanaman transforman (Siregar 2005).
4.
Pola Pewarisan Gen CP CMV pada
Tanaman Cabai
Pola pewarisan gen CP CMV yang
terdapat pada tanaman transgenik dipelajari untuk mengetahui bagaimana
pewarisan gen CP CMV. Studi pola pewarisan gen CP CMV pada tanaman cabai
transgenik yang diperoleh akan dilakukan sampai keturunan R2. Kegiatan penelitian
ini juga akan dapat mengetahui kestabilan integrasi gen CP CMV yang
diinsersikan pada genom tanaman cabai (Siregar dan Emmy, 2005).
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Perakitan tanaman cabai
transgenik tahan terhadap penyakit Cucumber Mosaic Virus (CMV) dilakukan
melalui konstruksi gen ketahanan CP CMV, kemudian transformasi gen ke dalam gen
Agrobacterium tumefaciens, lalu
introduksi gen ke dalam genom tanaman cabai. Tanaman cabai yang telah
diitroduksi genom, kemudian diuji ketahanannya terhadap CMV dan pewarisan sifat
gen CP CMV-nya.
DAFTAR
PUSTAKA
Sri Pujiyanto. 2012.
Menjelajahi Dunia Biologi. Solo : PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri